"Kwek Kwek kwekkkkkk !!!!" Itik betina berteriak dengan ributnya menyangka jantannya benar-benar mati.
"Hahahahh… lucu, benar-benar lucu !" Yogi tertawa terbahak-bahak melihat adegan di depan matanya.
"Apa yang kamu tertawakan?" sebuah suara empuk bergema di belakangnya. Yogi menoleh. Tampak Imei sedang berdiri sambil menenteng sebuah keranjang. Imei sedang menatapnya.
"Eh, Mei! Aku tidak mendengar suara kedatanganmu. Aku sedang melihat itik."
"Apa yang lucu dengan itik-itik itu ?" tanya Imei dengan senyum ditahan-tahan.
"Tidakkah kamu melihat adegan lucu?" Yogi menghentikan tawanya dan menatap Imei, kemudian sudut matanya beralih ke kolam. Tampak olehnya itik jantan segera terbangun ketika tubuhnya di goyang-goyang oleh cocor itik betina, mungkin kasihan atau kegelian dikitik-kitik begitu.
"Apanya yang lucu ?" Imei mendelik ketika melihat Yogi cengengesan sendirian. Yogi cepat-cepat memalingkan wajah.
"Kedua itik itu tingkahnya mirip manusia." Katanya pelan berusaha mengusir perasaan jengah,
"Siapa bilang mereka mirip manusia. Manusia takkan seegois itu. Masa ngasi makanan secuil saja masih ditahan tahan. Cis, tak tahu malu!" kata Imei dengan suara mengejek.
"Siapa bilang itik itu tak tahu malu. Coba lihat, itik jantan itu sangking malunya sampai pura-pura mati!" bantah Yogi.
"Huh, pura-pura mati. Lelaki memang suka berpura-pura." Kata Imei tak mau mengalah.
"Aku pasti tak termasuk golongan itu. Mestinya itik betina itu bersyukur karena sudah dibagi separo, eh, dia malah mengomel tak karuan." Yogi membela diri.
"Menurut aku, kalau ngasinya tak ikhlas, mending tidak ngasi sama sekali." Imei mengemukakan pendapatnya.
"Menurut aku, lebih baik membagi seorang separo daripada tidak memberi sama sekali. Itu tandanya si jantan bertanggung jawab," serang Yogi.
"Yang jantan memang harus bertanggung jawab, dia kan kepala keluarga yang harus memberi makan istrinya." Skak Imei. Yogi merasa tersedak mendengar ucapan Imei. Ia meringis dan menoleh ke kolam karena tidak ingin melanjutkan perdebatan.
"Sudah deh… kenapa kita yang ribut. Lihat, kedua itik itu sudah baikan !" Yogi menunjuk ke kolam.
Imei menengok ke arah yang ditunjuk Yogi. Wajahnya bersemu merah. Di kolam suasananya sudah berubah. Kedua itik itu tampak berenang kembali dengan akurnya. Sesekali itik jantan menyodokkan cocornya ke tubuh betina. Mungkin mencari kutu, atau menciumi betina. Keduanya tampak mesra sekali. Imei tersipu melihat tingkah sepasang itik itu.
"Binatang kalau bertengkar cepat sekali akurnya. Tidak seperti manusia. Pertengkaran manusia berlarut-larut tak ada habisnya." keluh Yogi.
Seketika wajah Imei berkabut mendengar ucapan Yogi. Ia lari meninggalkan Yogi yang terperangah.
"Mei ! Mei ! Aku salah ngomong lagi, ya ?" seru Yogi.
Imei tidak mempedulikan Yogi. Ia terus berlari menuju rumahnya. Yogi tidak mengejar. Mengejar sama dengan memperuncing suasana. Setelah bayangan Imei menghilang di pertigaan, Yogi berjalan menuruni lereng sambil mengumpulkan itik-itiknya.
………
Desa Kertosari tidak terlalu besar. Kebanyakan penduduknya bertani. Sambil bertani mereka memelihara itik atau kambing sebagai pekerjaan sambilan. Di pinggir desa ada sebuah kolam besar. Dulunya kolam itu milik seorang saudagar kaya. Kini saudagar itu pindah ke kota, tanahnya dibiarkan begitu saja. Oleh penduduk setempat tambak ikan yang terbiar itu dijadikan kolam pemandian itik.
Imei mempunyai seorang abang dan dua orang adik. Ayah Imei pemilik penggilingan padi, satu-satunya penggilingan di desa Kertosari. Semua penduduk Kertosari menggilingkan padi pada Pak Akung, demikianlah nama ayah Imei dipanggil. Hanya satu orang yang tidak menggilingkan padi pada Akung, dialah Sobirin. Sobirin bapaknya Yogi.
Sobirin menggilingkan padi ke penggilingan desa tetangga. Perselisihan antara Akung dan Sobirin telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak Imei dan Yogi belum lahir. Perselisihan Akung dan Sobirin merembet hingga ke keluarga mereka. Akung tak suka Imei bergaul dengan Yogi, begitu juga Sobirin melarang Yogi berdekatan dengan Imei. Walaupun demikian, keduanya selalu bersama sejak SD hingga SMA. Jarak rumah keduanya yang sejalan dan hanya berselisih 3 rumah membuat mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama.
Desa Kertosari berbatasan dengan 3 desa tetangga, hanya satu SMA yang dibangun pemerintah di keempat desa itu. Pagi-pagi remaja desa-desa itu tampak berpakaian seragam berjalan beriringan menuju SMA yang terletak di simpang perbatasan desa Kertosari. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B