Sesekali jika malam-malam gerah yang membuat ia tak bisa tidur, Imei berjalan ke gubuk Amung. Hatinya diliputi berkecamuknya perasaan curiga. Kenapa Bibi Kiu dan Paman Amung harus bertemu di malam buta? Kenapa tidak di siang hari ? Tapi, setiap kali ia tiba, gubuk Amung terlihat gelap, hanya dengkuran Amung yang terdengar keras. Jika bulan-bulan lain aku takkan menyuruhmu pulang. Tapi hari ini perayaan kueh bulan… Imei teringat omongan Amung. Apakah bulan-bulan lain itu berarti ada tanggal tertentu, purnama misalnya ?
Bulan dua belas Keturunan Tionghoa bersiap-siap menyambut sincia. Pergantian tahun selalu disambut dengan meriah. Imei ikut bergairah. Pertengahan bulan 12 itu ia ikut Paman Asun menjual beras ke kota. Di Kota ia membeli berbagai keperluan untuk menyambut tahun baru. Untuk pertama kalinya ia membeli sebuah kalung leher untuk dirinya sendiri.
Malam itu Imei duduk di depan jendela sambil mengamati kalung pembeliannya. Ia memakainya dan berjalan jalan sejenak di bawah pohon durian. Sejenak ia teringat pada Akung. Akung sudah meninggal 5 bulan. Kematian Akung menambah kesepiannya. Kini tak ada lagi yang menemaninya berbicara di malam hari. Ia memegang kalungnya dan teringat gelang dan cincin pemberian Akung, seketika ia teringat kalau orang yang berduka tak boleh mengenakan perhiasan, cepat-cepat dilepaskan kalung itu dari lehernya.
Sinar Purnama yang terang membuat Imei merasa sayang kalau tidak menikmatinya. Ia berjalan-jalan ke kolam itik untuk menikmati keindahan malam. Panorama di kolam itik saat purnama pastilah sangat indah.
Setiba di kolam, Imei duduk di sebuah batu di pinggir kolam. " Keindahan langit di saat purnama sangat mempesona. Pantas Papa betah menatap langit berlama-lama. Pasti karena langit penuh kerlipan bintang. Aku kini bisa menyelami kesepian Papa di saat malam purnama seperti ini. Pastilah setiap purnama mengingatkannya pada kematian Bibi Kinarti yang tragis itu." ocehnya sambil menatap ke arah bulan.
Imei terus menatap langit. Angin yang bertiup pelan membuat hatinya terasa sejuk. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki.
Di balik sinar bulan yang terang, di kejauhan tampak sesosok bayangan berjalan dengan tenang. Imei mengenali sosok itu sama dengan sosok yang keluar dari gubuk Amung. Tanpa terasa ia berjongkok di samping batu agar tubuhnya tidak terlihat. Bayangan itu lewat begitu saja tanpa memergokinya.
Imei segera membuntuti bayangan itu. Bayangan itu kembali mengambil jalan pintas. Akhirnya tiba di ujung desa dan berbelok menuju gubuk Amung. Tanpa bersuara bayangan itu naik ke atas gubuk.
Imei tiba di samping gubuk. Ia tak bisa melihat ke dalam gubuk karena ketinggiannya dan tampaknya pelita tidak dihidupkan. Sinar bulan tak cukup terang untuk menerangi suasana di dalam gubuk. Semua terlihat samar. Imei hanya mendengar dengus nafas memburu mirip orang yang kelelahan setelah berlari jauh. Imei dengan sabar duduk di bawah gubuk menunggu adanya pembicaraan. Tak mungkin Bibi Kiu menemui Paman Amung tanpa membicarakan sesuatu.
Akhirnya terdengar suara.
"Sebentar lagi Imlek, kamu harus membeli baju baru dan kembali ke masyarakat, Mung. Akung sudah meninggal, sudah seharusnya kamu tampil menggantikannya."
Imei bagai disambar geledek ketika mendengar suara itu. Suara itu ternyata suara ibunya.
Sejenak ia merasa pikirannya buntu. Apakah Lan Nio sedang berusaha membujuk Amung untuk kembali ke dunia ramai? Kenapa harus malam-malam begini?
"Hanya kamu yang peduli, Nio. Untuk apa aku berpakaian baru kalau tak ada yang peduli." Terdengar jawaban Amung.
"Kamu boleh tidak peduli. Tapi, bagaimana dengan anak-anakmu? Apakah kamu tidak peduli pada anak-anakmu ?"
Kembali Imei bagai disambar geledek. Paman Amung punya anak ? Di mana anak-anaknya? Kalau ucapan itu bukan keluar dari mulut Mamanya, ia takkan percaya.
"Akung sudah meninggal. Sekarang kamu bebas mengakui mereka sebagai anak-anakmu!" terdengar suara Lan Nio melanjutkan.
"Mereka takkan mengakuiku sebagai ayah mereka. Mereka sudah mengakui Akung selama seperempat abad. " terdengar bantahan Amung.
"Akung sudah lima bulan meninggal. Ingatan mereka terhadap Akung pasti sudah memudar. Apalagi Akung bersikap telengas terhadap mereka. Mereka sangat membenci Akung. Kamu bisa kembali ke rumah itu dan perlahan-lahan kita jelaskan bahwa mereka adalah anakmu, bukan anak Akung."
Gledek itu terasa semakin menggelegar di telinga Imei. Mereka anak Amung ? Mereka yang dimaksud adalah ia, Lukman, Ikling dan Ifen? Seketika Imei merasa dadanya sesak dan perutnya mual, tapi ia tetap bertahan mendengarkan dengan seksama.
"Mereka semua sudah besar, Nio, sudah bisa berpikir dengan matang. Bagaimana mungkin mereka mau menerima penjelasan kita yang tak masuk akal ini?"
"Kalau kita tidak menjelaskan, dengan pulangnya kamu ke rumah, berarti setiap hari kamu bergaul dengan mereka. Lambat laun mereka pasti akan menerimamu kalau kamu bersikap baik pada mereka."
"Aku sudah hidup dalam keadaan begini selama seperempat abad lebih. Tidak mudah mengubah tabiatku. Berilah aku waktu untuk berpikir."
"Lukman sangat keras sifatnya. Sama seperti sifatmu. Kalau berhadapan dengannya, kamu harus hati hati. Ia pernah menyinggung nama Kinar di hadapan Akung sesaat sebelum pergi. Entah siapa yang memberitahunya. Kamu harus hati-hati menghadapinya. Imei agak penurut. Dulu, di saat masih sekolah, setiap hari kuminta mengantarkan makanan buatmu, supaya kalian merasa dekat. Kelihatan ia bersimpati padamu. Aku cuma tak tahu kenapa setelah dewasa sifatnya semakin mirip Akung, dan sangat membela Akung. Entah bagaimana Akung mempengaruhinya sehingga akhir-akhir ini ia banyak menanyakan rahasia kita. Lihatlah saat acara pengkebumian, ia mati-matian membela kepentingan Akung. Aku sudah berusaha mencegahnya, tapi sepertinya ia sudah tak bisa kukendalikan. Saat itu aku ingin sekali memberitahunya bahwa ia bukan anak Akung." kata Lan Nio penuh emosi.
"Ia bersimpati pada Akung karena Kinarti, juga karena ia mencintai Yogi. Ia pernah berbicara dari hati ke hati padaku. "
"Kalau saja Akung bersikap baik padaku, aku takkan melakukan semua ini…" terdengar lenguhan Lan Nio.
"Sudahlah, Nio. Semua ini suratan takdir, tak perlu disesali lagi." hibur Amung.
"Aku sungguh tak tahan hidup bersama lelaki dingin seperti dia. Sedikit perasaan pun dia tak punya. Aku sudah bersikap baik padanya, patuh padanya, berusaha menjadi istri yang baik. Tapi apa yang kudapat ? Makan hati bercampur empedu ketika kudapati ia menatap lukisan Kinarti dengan mesra, sementara aku dianggap sebuah arca. Aku ingin sekali mencabik-cabik lukisan itu dengan kukuku kalau aku bisa, sayang kamarnya selalu terkunci. Dia tahu Lukman bukan anaknya, juga Imei, Ikling dan Ifen, tapi dia diam saja, bahkan tak peduli dan tak berusaha mencari tahu dengan siapa aku selingkuh. Aku sengaja selingkuh denganmu supaya dia menangkap basah kita, supaya aku diceraikan, aku bisa kembali padamu. Sayang, ternyata dia benar-benar mati rasa. Coba kamu bayangkan, aku hidup bersama sebongkah batu, bagaimana perasaan ini harus kutahan ?" Lan Nio mengatakan sambil terisak-isak. Imei merasa hatinya agak terharu mendengar cerita Lan Nio. Hampir saja ia ikut menangis.
"Dia bukan mati rasa. Dia sengaja menyiksamu. Sejak kapan dia mulai minum arak ?" tanya Amung.
"Sejak dia memasang lukisan itu. Aku sengaja membuatnya banyak-banyak, agar dia selalu dalam keadaan mabuk. Dia hidup dalam bayang-bayang kematian Kinarti. Mabuk atau tak mabuk, di hatinya cuma ada Kinarti. Aku benci sekali pada mereka." kata Lan Nio dengan suara melengking.
"Sudahlah, Nio. Segalanya sudah berlalu. Dia sudah mati. Tinggal bagaimana kita bersikap terhadap anak-anak. Kita atur saja perlahan-pelan. Sudah larut malam, Nio. Pulanglah… Kini kamu janda. Bukan Akung yang akan menangkap kita, tapi masyarakat." bujuk Amung.
Imei terpaku bagai orang linglung mendengar percakapan antara Lan Nio dan Amung. Hatinya tergoncang hebat. Ia bahkan lupa bersembunyi ketika mendengar derit kaki menginjak tangga. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B