Itik-itik bernyanyi, bernyanyi dengan ribut. Imei menatap itik-itik itu. Adakah ini nyanyian perpisahan?
Setelah itu ia berjalan pergi.
" Mei, apakah kamu akan kembali !?"teriak Yogi.
Imei menghentikan langkahnya. Ia menatap Yogi dan Sobirin bergantian, kemudian menggelengkan kepala. Setelah itu ia mulai melangkah. Selamat tinggal semua. Selamat tinggal kepedihan. Selamat tinggal kenangan yang indah. Apapun yang terjadi, aku akan mengingat desa ini sebagai bagian terindah dan juga paling menyakitkan dalam hidupku. Selamat tinggal semua !
Itik itik berkwek kwek lagi dengan riuhnya. Seperti nyanyian mengantar kepergiannya. Rembulan bersinar terang seakan-akan penerang jalan supaya perjalanannya berjalan lancar. Semua seperti ingin mengantar kepergiannya.
Satu langkah. Dua langkah….
Melihat gelengan Imei, Yogi maju ke hadapan Sobirin.
" Pa! Selamanya aku selalu mendengar kata-kata Papa. Tapi maafkan kalau kali ini aku tidak menurut. Aku harus pergi bersamanya! Atau Papa lebih suka melihatku seumur hidup tak pernah merasakan kebahagiaan!" Yogi berkata dengan tegas sambil menantang tatapan Sobirin. Sobirin tidak memberikan reaksi. Langkah Imei terhenti, dan dia menoleh kembali. Inilah kali pertama Imei melihat sikap tegas Yogi.
" Biar kepalaku dipancung, aku tetap pergi bersamanya, Pa !" tambah Yogi lebih keras lagi. Kedua anak-bapak itu bertatapan dalam keheningan.
Tak lama kemudian terdengar helaan napas berat. Tatapan Sobirin beralih ke Imei dan berkata,
" Seandainya Papamu dulu berani melakukannya, aku akan mengacunginya jempol. Sayang… Papamu lembek. " kembali Sobirin menghela napas berat. " Dari dulu cinta mempunyai kekuatan dasyat yang sanggup melumpuhkan semua batas dan rintangan. Aku tak ingin melihat tragedi Kinarti kembali terjadi. Kalian pergilah…" suara Sobirin berkumandang seperti sebuah genderang. Imei bagai tak memercayai pendengarannya. Yogi terlonjak kaget dan menatap nanar Bapaknya. Sobirin tak memberi mereka kesempatan berbicara. Ia melangkahkan kaki dan beranjak dari jembatan itu.
" Terima kasih, Pak " Seru Yogi. Bapaknya tidak menoleh, tidak juga berhenti. Kebasan tangan menandakan menyuruh mereka pergi.
Imei menatap Yogi dengan pandangan tak percaya. Keduanya berpegangan tangan dan melangkahkan kaki. Ketika malam berganti siang dan rembulan menghilang, mereka sudah berada jauh dari Kertosari.
Epiloge 1.
Gubuk itu berdiri lagi. Bahkan lebih kokoh dari sebelumnya. Sesuatu yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, akan jadi kebiasaan rutin.
Sejak kepergian Imei,penggilingan tak ada yang mengurus. Penggilingan terbiar menjadi rumah kosong berhantu. Banyak yang takut mendekatinya terutama karena banyak yang melihat bayangan Akung dan Kinarti sering terlihat berduaan keluar masuk penggilingan.
Purnama menjadi saksi segalanya, termasuk kejadian berikut ini.
Suatu malam, seorang anak muda kebelet buang hajat, tapi malas pulang ke rumah. Anak muda ini membuang hajatnya di pematang sawah. Tanpa sengaja dia melihat sesosok tubuh bergerak menuju ujung desa. Diikuti bayangan itu.
Bayangan itu menuju gubuk Amung. Seketika timbul kecurigaan di hati pemuda itu.
Pemuda ini mengontak rekan rekannya, termasuk kepala Desa. Kepala Desa yang datang bersama warganya bergerak secara diam diam. Lima orang mendekati gubuk dan mengintip ke dalam. Apa yang mereka melihat membuat mereka terpana sampai tak mampu berbicara. Semua menelan ludah.
Kepala Desa memerintahkan obor obor dinyalakan, setelah itu dia mendobrak pintu.
" Kalian sudah terkepung! Keluar, Amung ! Atau kami akan membakar kalian hidup hidup !" teriak kepala desa lantang.
Terdengar jeritan kaget. Tak lama kemudian Amung keluar dengan kepala tertunduk. Lan Nio mengikuti sambil berusaha menutupi wajahnya dengan kain. Keduanya berwajah ngeri.
Kepala Desa berembuk dengan warga. Setelah itu menatap warganya. Semua siap melaksanakan apa yang bakal disuruh kepada Desa.
" Kami tak ingin Desa kami dikotori perbuatan maksiat kalian. Angkat kaki dari desa ini ! Apapun yang tersisa, akan kami bakar untuk membasmi kekotoran yang kalian tinggalkan ! Besok pagi begitu fajar menyingsing, jika kalian masih ada di desa ini, jangan salahkan jika diantara kami ada yang berbuat nekad !"
Amung tak membuang waktu lagi. Dia menyambar apa yang bisa disambar. Sementara itu warga mengawasi dari jauh.
Keesokan harinya, begitu ayam berkokok, gubuk Amung tak berbekas lagi. Warga bergerak menuju mantan rumah Akung. Rumah itu sepi dan kosong.
Semua mata menatap Sobirin. Sobirin menatap rekan rekannya.
" Almarhum Akung sahabatku. Imei selalu bersikap baik terhadap kalian. Kuharap pengertian kalian. Tolong biarkan rumah ini tetap tegak sampai Imei kembali."
Tak ada yang bergerak. Tak ada obor yang terlempar. Semua membubarkan diri. Sobirin menatap kepulangan rekan rekannya dengan sangat berterima kasih.
" Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu, sahabatku. Semoga arwahmu dan arwah adikku tenang di alam baka." Kata Sobirin dengan berlinang airmata.
……….
Epiloge 2: 2000, pergantian Milliun, Another Year of the Dragon.
Nun jauh disana, di sebuah kota, seorang ibu muda sedang menyulam sepasang itik pada payama anaknya.
Anak tertuanya sudah berumur 7 tahun, putra, dan yang putrinya berusia 5 tahun. Kedua anaknya sedang ikut papanya berjalan jalan ke Mall.
Pulangnya keduanya berteriak dengan riang.
" Mama ! Kami pulang !" teriak putranya.
" Ma, tadi di Mall ada Barongsai ! Rame banget, Ma !"
Imei menatap suaminya.
" Benar, Yo ?"
" Ya, rezim Orba sudah berlalu. Tak ada yang protes kemunculan Barongsai yang tiba tiba." Ucap Yogi.
Imei menatap keduanya anaknya. " berterima kasihlah pada kakek kalian, Yang Siau Kung, yang telah memperjuangkan kebudayaan China tetap eksis sebagai pelangi kebudayaan di Indonesia."
Kedua anaknya pergi berdoa.
Imei menatap Yogi. Pandangan yang menyiratkan segalanya. Yogi pergi menemani anak anaknya.
" Terima kasih, papa Akung." bisik Imei di dalam hatinya. Sulamannya masih berupa 2 pasang anak itik putih, tapi di kejauhan ada seekor angsa besar berdiri tegak kokoh selamanya.
2001 Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No 14/ tahun 1967 yang bersifat diskriminatif terhadap Keturunan Cina.
Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional dan mulai 2003,
Tim Barongsai dari Paguyuban Marga Sosial Tionghoa Indonesia ( PSMTI ) Kota Tarakan meraih Juara Satu Dunia Kejuaraan Dunia 3rd World Lion Dance Championship
Epilog 3:
Sebuah sms masuk ke hape Imei. Sekarang dia bernama Ny. Melinda Yogi.
Mei, sudah 10 tahun aku menggantikanmu sebagai Ketua Perhimpunan Pelestarian Kebudayaan China di Kertosari. Sudah saatnya kuserahkan jabatan ini kembali padamu. Mei, pulanglah! Kertosari merindukan seorang Imei.
Pengirimnya Siegit Siharja.
Melinda Sari tercenung sangat lama, kemudian mengirim sms balasan:
Kamu yang pantas menjabat jabatan itu, Siegit. Aku puas dengan hidupku sekarang. Gimana nyonya Sunni Sieharja?
Balasan dari Siegit.
Sunni baik baik saja. Dia merindukanmu. Kami semua merindukanmu. Pulanglah, Mei… Kasihan petani harus jauh jauh menggilingkan padinya ke desa tetangga.
Hati Imei galau. Dia kangen Kertosari. Dia kangen semua petani. Dia kangen nyanyian itik. Dia kangen semua kenangan bersama papa Akung. Dia sudah tahu apa yang terjadi pada mamanya dan Amung. Mereka diusir dari Kertosari dan tak boleh kembali.
Saat Yogi pulang kerja. Imei menyuguhkan teh, membuka sepatu suaminya.
Keduanya saling bertatapan.
" Yo, sebentar lagi Cheng Beng. Bolehkah aku pulang membersihkan kuburan papa? "
Yogi menatap istrinya dengan lembut. " Sudah 10 tahun kamu tak menziarahi makam papamu. Sudah seharusnya kamu pulang." Kata Yogi pengertian.
Imei memegang tangan suaminya. " Makasih, Yo."
" Aku akan menemanimu pulang," kata Yogi dengan penuh kepastian. Imei memeluk suaminya seerat eratnya.
2 April 200x. Pemakaman Orang Keturuan China Kertosari.
Imei turun dari mobil bersama suami dan anak anaknya. Mereka menuju makam Akung. Alangkah kagetnya saat dia melihat makam Akung terawat dengan baik. Mereka menemui penjaga pemakaman.
" Pak, siapa yang merawat makam Yang Siau Kung. Kenapa kuburannya bersih dari rumput liar ? " tanya Imei. Penjaga makaman hanya tersenyum.
" Sobirin !" kata penjaga pemakaman.
" Hah !" Imei kaget sekali mendengarnya.
" Apakah Lim Lan Lio pernah datang membersihkan makam suaminya?" Tanya Yogi.
Penjaga makam menggelengkan kepala.
Kekecewaan Imei terhadap ibunya semakin mendalam.
" Setiap kuburan Akung bersemak, Sobirin selalu datang menebasnya, membersihkannya. Setiap Cheng Beng, Sobirin memberiku uang, memintaku membeli kertas akherat, dupa, dan persembahan, memintaku berdoa untuk arwah Akung. Setiap tanggal kematian Akung, Sobirin memberiku uang untuk membeli keperluan sembahyang untuk mendoakan arwah Akung. Setiap Purnama bersinar terang, Sobirin menyuruhku menuang 3 cangkir arak untuk arwah Akung dan Kinarti. Katanya, uang itu titipan seorang anak yang tak berbakti. "
Imei merasa limbung. Anak tak berbakti ? Apakah dia ?
Tak ayal lagi, Imei menarik tangan anak anaknya dan mengajak Yogi berlalu dari pemakaman Orang China.
Lelaki itu bertubuh gempal, hitam dan bertopi rumput, sedang membopong ramban menuju kandang kambing saat dia mendengar 4 teriakan yang entah ditujukan buat siapa.
" Papa !"
" Papa Mertua !"
" Kakek !"
" Kakek !"
Sobirin menurunkan rambannya dan menatap pemanggilnya. Dua orang dikenalnya dengan baik, dua orang lagi belum pernah dilihatnya.
" Kakek ! "
" Kakek !"
Sobirin sudah tau siapa yang memanggilnya kakek. Ia merentangkan tangannya. " Cucuku !" Kedua anak kecil itu tenggelam dalam dekapan kakeknya.
Yogi dan Imei saling berpandangan. Imei yang maju duluan.
" Terima kasih papa mertua telah bersedia merawat makam papa Akung selama ini. Aku sunggah anak tak berbakti. Sekali pergi tak pernah kembali untuk membersihkan kuburan papa," Kata Imei dengan airmata menggenang di pipinya.
" Akung sahabatku, sudah sepantasnya aku membersihkan makamnya. "
Imei tak sanggup menahan airmatanya lagi. Seluruh persediaan airmatanya ditumpahkan sambil bersujud di hadapan papa mertuanya. Sobirin membangunkannya.
" Desa ini mengharapkan kalian kembali, termasuk aku." Kata sobirin dengan wajah sendu. Tampaknya ia menahan airmata.
" Penggilingan kurawat dengan baik, termasuk rumah Akung," Tambah Sobirin.
Semakin terharu Imei mendengarnya. Imei memandang suaminya.
" Kembali ?" tanya Imei pada suaminya.
Yogi memberikan senyumnya. Sepasang kupu kupu ikut tersenyum.
" Papa mertua. Apa koko Luk pulang setiap Cheng Beng ?"
Sobirin menggelengkan kepala. " Tunggu sebentar, " Sobirin masuk ke rumahnya, meninggalkan Yogi dan Imei yang saling bertatapan dengan wajah bingung. Tak lama kemudian Sobirin keluar dengan segepok amplop, dan menyodorkan pada Imei.
Imei menerima amplop amplop itu dengan tangan gemetar. Setiap amplop tersisa selembar kertas. Isinya…
Tolong serahkan uang ini pada penjaga Makam. Minta padanya mengirim doa pada Yang Siau Kung dan Kinarti. TTD: Anak Tak Berbakti.
Imei begitu terpana membaca tulisan itu. Airmatanya turun lagi.
" Koko Luk !!!! Kok Luk !!! Pulanglah !!!! Badai telah Berlalu, pulanglah kok Luk !" Jerit Imei sekuat tenaga.
Itik itik bernyanyi. Bernyanyi mengiringi teriakan Imei.
" Kok Luk ! Pulanglah ! Pulanglah !!!! "
Yogi memeluk istrinya. Sobirin ikut meneteskan airmata.
" Hidupmu tak sia sia, sobatku !" lenguhnya sambil menarik anak menantu serta cucu-cucunya memasuki rumah.
Tahun demi tahun berlalu. Setiap tahun Sobirin tetap menerima sebuah amplop dan sehelai kertas. Isinya sama dari tahun ketahun. Titipan dari Anak Tak Berbakti.
Dua makam terawat dengan baik. Dua kupu kupu selalu beterbangan bersama. Dua itik putih selalu berenang bersama. Dua bayangan manusia selalu menikmati purnama…bersama sama. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews / Tamat]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B