"Paman Amung !" terdengar teriakan.
Amung menoleh ke arah panggilan. Tampak Imei mendatangi sambil menenteng sebuah bakul. Tanpa melihat Amung tahu kalau bakul itu berisi kangkung. Ia sudah sering menjumpai keponakannya memotong kangkung di pinggiran kolam ini untuk ditumis bersama terasi. Ia sering menerima kiriman lauk berupa kangkung terasi.
Imei duduk di samping Amung. Tangannya dimasukkan ke dalam bakul dan mengeluarkan sebuah bungkusan.
"Mama titip bakpao buat Paman," kata Imei dengan wajah secerah mentari pagi. Salah duga terhadap Pamannya terkikis habis oleh penjelasan Mamanya beberapa hari yang lalu.
"Bakpao ?"
"Ya. Makan Paman, mumpung masih panas."
Amung mengupas kertas alas bakpau dan memasukkan separo ke dalam mulutnya. "Enak !" komentarnya.
"Banyak dapat ikan, Paman ?" tanya Imei. Amung tak menjawab. Ia mengangkat keranjang dan memperlihatkan dua ekor ikan gabus sebesar lengan manusia.
"Wow ! Paman pintar memancing, bisa mendapat ikan gabus sebesar ini!" Puji Imei dengan keceriaan seorang Imei, anak muda yang masih memandang dunia serba indah.
"Berani bawa pulang ?" tanya Amung.
"Kenapa tidak ?"
"Oh, maksudku… ada sirip berduri dipunggungnya. Kalau kamu mau, akan kuikat dengan baik agar kamu bisa menentengnya." Amung sebenarnya ingin mengatakan, kalau Akung tahu ikan itu hasil pancingannya, pasti ikan itu dilempar untuk makanan kucing.
"Mau, mau !" kata Imei antusias. Amung segera mencari tali pisang dan mengikat kedua ikan itu.
"Mana anak angon itik yang suka bersamamu ?" tanya Amung cengengesan.
"Tak tahu, paman. Aku tak janjian sama dia…"elak Imei.
"Aku tahu di mana dia berada," Amung sengaja menggodanya.
"Paman tahu ?"
"Ya, dia sedang ketakutan dan bersembunyi."
"Kenapa bersembunyi?"
"Karena itik-itiknya mengganggu pancingku,"
Wajah Imei langsung memucat. Ia kawatir Yogi dikeplak oleh Pamannya.
"Lihat, tuh ! Di balik pohon pisang di pinggir kolam, kepalanya nongol sedikit mengintip kita. Dia bersembunyi seperti tikus got. Sudah dua jam dia di sana, tak berani pergi karena takut kukejar dan kukemplang !"
Imei pura-pura acuh. Wajah Amung kadang-kadang terkesan keras, tapi sering terlihat kebodoh-bodohan. Imei takut dituduh janjian dengan Yogi, takut ada yang mengadu pada Papanya. Ia mencuri menatap ke arah pohon pisang dengan hati gelisah,
"Anak sobirin ?" tanya Amung. Imei tak berani mengelak. Kepalanya dianggukkan.
"Ketahuan Akung kamu bisa mendapat sabetan." Amung mengingatkan. Dada Imei terasa lemas. Lama ia terdiam tak tahu harus berbuat apa.
"Kok Paman tahu hukumannya sabetan?"
"Tentu saja tahu. Siapa Akung itu sampai aku tak tahu sifatnya. Apa yang didapat pasti diturunkan pada anaknya. Aku dulu juga sering mendapat sabetan."
"Paman disabet ? siapa yang nyabet? "
"Engkongmu,"
"Kenapa disabet ?"
"Karena malas belajar Bahasa Mandarin. Engkongmu sangat keras kalau mengajari kami. Salah setitik saja hurup yang kutulis, kena sabet. Bilur-bilur tubuhku terkena sabetan."
"Papa juga ?"
"Ya, Akung juga. Akung lebih parah lagi. Engkong mengatakan Akung anak tertua, penerus tradisi dan generasi, jadi harus lebih tahu dari yang lain. Sebagai bangsa yang beradab, setiap orang wajib melestarikan bahasa dan budayanya, tak peduli suku dan bangsa apa pun. Setiap kali Akung berbuat salah, setiap kali dia disabet. Aku tak tahu kenapa Engkong harus berkeras begitu, padahal di China sendiri sudah banyak yang tak peduli pada masalah kebudayaan. Dengan penduduk sebanyak itu, mereka lebih memikirkan perut ketimbang persembahan, adat, dan kebudayan. Kadang-kadang aku kasihan juga padanya. Sejak remaja ia dibelenggu oleh engkong, dan juga oleh lingkungan Kaum Keturunan."
"Kenapa Paman kasihan ? Apa cuma Papa, Paman tak ikut terbelengggu?" tanya Imei.
"Aku lebih mending. Anak kedua tak punya kewajiban seperti itu. Tradisi hanya jatuh pada putra pertama. Anak kedua lebih bebas melakukan sesuatu."
Imei merenungkan ucapan Amung. Ia membayangkan pukulan yang diterima Papanya dari Engkong. Apakah kesakitannya sama ? Ia kini mulai paham kenapa Papanya suka memukul Lukman dengan penggaris kalau berbuat kesalahan, pasti untuk mempertahankan tradisi. Lukman sering mengomel banyaknya acara sembahyang dalam keluarga mereka. Setahun ada 4 acara sembahyang buat leluhur, 10 acara keagamaan, ditambah pantang-larang ala China, beban Lukman sungguh tak ringan. Imei bersyukur terlahir sebagai wanita.
"Kenapa Paman tak akur dengan Papa ?" tanya Imei. Seketika wajah Amung memuram.
"Panjang ceritanya. Itu sebuah masa lalu yang suram. Aku tak ingin mengungkitnya. Mending kamu undang anak angon itik itu untuk makan bakpao bersama kita."
Imei merasa Amung sengaja mengelak dari topik yang ia ajukan." Imei… Imei takut ketahuan Papa,"
"Papamu sedang sibuk di penggilingan, takkan tahu."
"Papaku memang tak tahu. Tapi, selalu ada yang melapor padanya."
"Maksudmu… Asun ? Biar kuhajar dia kalau berani mengadukanmu! Aku ingin memberi sedikit saran padamu; Kalau cinta katakan cinta, kalau sayang tunjukkan rasa sayangmu, jangan mendustai hatimu. "
"Wah ! Paman ternyata pintar mengucapkan slogan indah. " Puji Imei. Wajah Amung berseri-seri dibuatnya. "Paman pernah jatuh cinta ?"
"Pernah, tapi sudah kukubur dalam-dalam. Kamu tak usah kuatir, kamu bukan anak lelaki, jadi tak perlu takut kalau ingin menjalin tali kasih dengan anak angon itik itu. Aku menyokongmu ! Anak perempuan bukanlah termasuk penerus tradisi dan generasi. Lagipula, kukira Papamu bukan anti asimilasi. Hanya karena antara dia dan Sobirin ada dendam, maka kalian dilarang bergaul."
Kata-kata Amung sangat membesarkan hati Imei. Ia menoleh ke arah batang pisang. Tangannya menggapai menyuruh Yogi menghampirinya. Yogi menggelengkan kepala.
"Dia penakut, sebaiknya aku pergi saja." Kata Amung sambil berdiri dan berjalan pergi. Setelah Amung tidak kelihatan, perlahan-lahan Yogi keluar dari balik batang pisang dan berjalan ke tempat Imei.
"Si Gila sudah pergi ?" tanyanya takut-takut.
"Dia tidak gila," bantah Imei. Yogi agak salah tingkah mendengar bantahan Imei.
"Sebaiknya kita tak bertemu di kebun. Aku lebih senang tidak bertemu denganmu daripada melihat tanganmu melepuh dan kesakitan dihukum Papamu. Kita ngobrol di sekolah saja. Aku sudah cukup puas asal bisa menatapmu dari jauh…." Kata Yogi menunjukkan perhatiannya.
"Ya, aku paham. Aku juga berharap kamu tidak menggilingkan padi ke penggilingan Papaku."
"Itu dua hal yang berbeda. Kalau bisa, aku ingin mendamaikan mereka."
"Itu tak mungkin. Papaku hatinya sekeras batu." kata Imei.
Yogi tertegun mendengarnya. Akhirnya ia berkata, "Kalau begitu, pulanglah. Di bawah jembatan kolam itik aku menyembunyikan seikat kangkung. Bawalah pulang agar kamu tak perlu menyabitnya." Yogi pergi mengumpulkan itik-itiknya. Imei tetap duduk di tepi kolam menatap kegiatan Yogi. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B