" Mei, ambilkan minuman kesukaanku," pinta Akung. Tanpa membantah Imei masuk ke kamar dan menyambar sebuah botol. Ketika ia ingin mengambil gelas, Akung mencegahnya.
" Tak usah pakai gelas, Mei. Minum arak yang paling nikmat adalah diglek langsung dari botolnya." Akung menjelaskan.
" Nanti Papa tersedak," kata Imei kuatir.
" Aku sudah terbiasa menggleknya, Mei. Sudah lebih dari 20 tahun. Tak mungkin tersedak." Akung tersenyum percaya diri.
Dengan perasaan berat Imei menyerahkan botol arak pada Papanya. Akung langsung meneguknya. Dua tetes arak meleleh melalui ujung mulut. Imei segera mengelapnya. Wajah Akung bersemu merah seperti mendapat darah segar.
Ketika meneguk untuk kedua kalinya, sebuah tegukan besar membuat Akung tersedak dan terbatuk-batuk.
Imei menepuk-nepuk dada Papanya. " Pelan-pelan, Pa. Papa kan sedang sakit," hiburnya.
" Ternyata aku benar-benar sudah tua, ternyata ajalku memang sudah dekat, berpuluh tahun aku meneguk arak ini dari botolnya, belum pernah aku tersedak… " keluh Akung dengan wajah kecewa.
" Bukan karena itu, Pa, tapi karena Papa sedang sakit." Imei mencoba membesarkan hati Akung.
" Tak usah menghiburku, Mei. Selama ini aku hidup mandiri. Aku sanggup mengukur kemampuanku. Kini segalanya telah berakhir. Untuk makan pun aku bergantung padamu…" keluh Akung.
" Jangan ngomong begitu, Pa. Sejak kecil Papa mengajariku, memberiku makan, membesarkanku. Sudah menjadi kewajibanku sekarang merawat Papa…" kata Imei setulus hatinya.
" Kamu sangat baik, Mei… sangat baik. Aku sangat berterima kasih di akhir hayat dikirimi seorang putri berbakti sepertimu…" ucap Akung. Imei merasa keharuan melanda hatinya. " Tapi aku takkan membebanimu terlalu lama. Aku merasakan kehadiran malaikat maut yang semakin dekat. Tiap malam aku mendengar suara Kinarti yang sedang memangil-manggilku dan memintaku pergi bersamanya." Akung semakin ngelantur.
" Kinarti ?" Imei tertegun mendengar nama itu. Nama itu selalu membangkitkan rasa ingin tahunya.
" Ya, Kinarti. Adik Sobirin. Dia mati penasaran. Akulah penyebab kematiannya. Oh, Kinar, aku sungguh bersalah padamu. Aku membiarkanmu kesepian selama 20 tahun lebih… Aku akan menyusulmu, Kinar!" Akung meracau, suaranya terdengar sendu.
" Siapa Kinarti itu, Papa ?" tanya Imei pelan.
Akung terdiam mendengar pertanyaan anaknya. Sejenak ia tertegun, kemudian berusaha berdiri. Imei membantunya.
" Bawalah aku naik ke loteng," pinta Akung. Dengan langkah tertatih-tatih Imei menuntun Akung menuju loteng. Sesampainya di atas loteng Akung mengeluarkan sebatang anak kunci dan meminta Imei membukakan pintu.
Kali ini tak seperti biasanya, Akung mengajak Imei masuk bersamanya. Setibanya di dalam ia menghidupkan lampu. Ia menatap lukisan yang tergantung di dinding. Kini Imei bisa melihat dengan jelas lukisan itu. Ia membayangkan, betapa cantiknya Kinarti seandainya masih hidup. Pastilah Kinarti ini dulunya kekasih Papanya, setelah meninggal barulah Papanya menikah dengan Mama. Sebuah kisah cinta yang kandas, pantas Papanya selalu bersedih, tebak Imei dalam hati.
Akung menuangkan arak pada tiga cangkir kecil di atas meja di depan lukisan. Tangannya yang gemetaran menyebabkan beberapa tetes arak tertumpah keluar. Dengan tangan gemetar juga ia memegang cangkir dan mengajak lukisan itu bersulang. Ketika ketiga cangkir itu kosong, dia berkata, " Inilah Kinarti…." Kata Akung pendek. Imei menunggu kelanjutannya, tetapi tampaknya Akung enggan bercerita.
" Setelah aku meninggal, bakarlah lukisan ini di depan pusaraku, dan kami pun akan bersatu di alam baka. Aku sangat berharap kamu membakarnya di saat bulan purnama, Mei. Bulan Purnama selalu penuh arti dalam hidupku. Maukah kamu memenuhi permintaanku, Mei ?" Akung memohon sambil menggenggam tangan Imei erat-erat.
Imei menganggukkan kepala," Tentu Papa. Aku akan melaksanakan pesan Papa dengan sebaik-baiknya." Jawab Imei dengan hati pedih. Keyakinannya terhadap ramalan Akung kian tebal. Berarti antara Akung dan Kinarti ada perjanjian, atau sama-sama ingin mati di bulan ketujuh. Imei kini semakin yakin kalau kematian di bulan ketujuh yang dimaksud Akung adalah sebuah rencana, bukan firasat, juga bukan ramalan.
Akung meraba sebuah kotak yang terletak di atas meja. Dengan bersusah payah dibukanya. Ternyata isinya seuntai gelang tangan. " Ulur tanganmu," kata Akung. Imei mematuhi. Akung memakaikan gelang itu ke tangan Imei. Sejenak bulu roma Imei berdiri ketika kalung itu mengenai kulit tangannya. Sebersit rasa dingin membuat tengkuknya merinding. Imei menutup matanya dengan perasaan terharu. Sejak kecil ia belum pernah dibelikan perhiasan, pemberian ini terasa berarti. Pastilah selama ini Akung mengobati kerinduannya pada Kinarti dengan meraba kalung ini di setiap kesempatan.
Imei merasa tangannya masih dipegangi Akung. Tanpa disadari sesuatu bergerak memasuki jari tengahnya. Imei membuka matanya dan mendapati di jari tengahnya melingkar sebuah cincin yang indah dengan beberapa hurup aksara China kuno. Tanpa terasa dua titik airmata menyeruak keluar dari kelopak matanya. Akung menepuk-nepuk kepala anaknya.
" Gelang ini kubeli untuk kuberikan pada Kinarti. Tapi sayang aku tak sempat memberikannya… "
" Kenapa tidak diberikan pada Mama ?" tanya Imei secara spontan.
" Aku membelinya hanya untuk kuberikan pada orang yang paling kucintai di dunia ini. Kini kuberikan buat orang yang paling mengerti diriku," kata Akung. Imei kian terharu. Serta-merta ia memeluk Papanya dan menangis tersedu-sedu.
" Papa !!! Papa tak boleh mati ! Aku tak ingin papa Mati! Papa harus terus hidup dan membimbingku agar jangan salah jalan !"
" Takdir, Mei. Kita tak bisa mengingkari takdir. " ucap Akung sambil menghapus airmata di pipi Imei. Imei merasa pipinya disentuh dengan penuh kasih sayang.
Setelah itu Imei membantu Akung turun dari loteng. Akung tak ingin bercerita, Akung pasti ingin membawa kisah cintanya bersama Kinarti ke alam kubur.
" Cincin itu jagalah dengan baik. Suatu saat seseorang akan memberitahumu kegunaannya. " Kata Akung setibanya di kamar. Benak Imei dipenuhi keharuan sehingga tidak bertanya lebih lanjut. Imei membaringkan Papanya. Mata Akung mengatup dan terlelap dengan damai. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B