Imei bisa melihat kemesraan yang dipancarkan dari wajah Lan Nio saat mengucapkan kata-kata itu. Amung tidak ikut turun. Lan Nio berpaling dan langsung berjalan menuju jalan raya tanpa menoleh ke samping gubuk. Setelah Lan Nio berjalan agak jauh, Imei ikut berjalan keluar dari samping gubuk. Langkahnya terasa gontai. Hatinya kacau-balau. Kehidupan orang dewasa ternyata penuh kepalsuan dan tipu helah yang menyakitkan hati.
" Sejak kapan pertemuan ini dimulai? Sejak kapan sinar purnama menjadi saksi sebuah perselingkuhan ? Oh… alangkah kejamnya kehidupan ini !" keluh Imei. Malam itu ia tidak pulang. Ia menatap langit semalaman sambil duduk di atas jembatan memikirkan nasibnya. Semua bagai benang kusut. Hatinya merintih. Terlalu pahit menerima kenyataan bahwa ia anak hasil selingkuhan.
" Kenapa rahasia ini tersimpan begitu rapi? Kenapa tak ada yang membongkar kebusukan ini ? Aku…anak haram? Oh… bagaimana harus kuhadapi hidup ini?" ratapnya.
………
Butuh berhari-hari bagi Imei untuk menenangkan diri dan bersikap tak tahu apa-apa terhadap apa yang didengarnya di gubuk Amung. Pikirannya mencoba menemukan siapa yang salah. Papanya? Mamanya, atau Paman Amung ? Sebagai perempuan ia bersimpati pada nasib Mamanya. Seorang istri yang tidak dicintai suami pastilah sangat tertekan batinnya, tapi hati nuraninya tak bisa menerima perselingkuhan sebagai jalan untuk membalas dendam. Papa tahu perselingkuhan ini. Pasti inilah penyebab Mama di maki Sundal Sialan. Tapi, kenapa Papa mendiamkan saja kemaksiatan ini terjadi ? Papa tahu kami bukan anak kandungnya, tapi tetap membesarkan kami dan memberi kami pendidikan. Inikah juga penyebab ia selalu bersikap telengas terhadap kami ?
Untunglah akhir tahun tak ada yang menggilingkan padi karena musim panen telah berlalu. Imei bebas merenung dan berpikir di rumah. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh acara pembersihkan rumah, namun karena keluarganya masih berada dalam suasana duka, tak ada acara pembersihan rumah, juga tidak merayakan imlek, yang ada hanya merapikan rumah ala kadarnya.
Imei melihat Lan Nio merapikan kamar Ikling, Ifen, juga kamar Lukman yang kosong, tapi kamar Akung sama sekali tak disentuh. Imei baru menyadari kalau selama ini Lan Nio belum pernah menginjak loteng, juga kamar Akung. Apakah selama ini Papa membersihkan sendiri kamarnya, juga loteng ?
Imei membawa sapu dan kain bersih menuju kamar tidur Akung. Sejak Akung meninggal 5 bulan yang lalu, kamarnya tak pernah dibersihkan, bahkan jarang dibuka, baunya terasa pengap dan apak.
Imei membuka jendela. Sarang laba-laba merajalela di mana-mana. Barang-barang yang berantakan dirapikan. Akhirnya ia sampai di bawah tempat tidur. Botol-botol arak masih berdiri tegak di bawah tempat tidur. Beberapa di antaranya masih berisi. Imei memindahkan botol-botol untuk membersihkan kolong tempat tidur, kemudian mengembalikannya ke tempat semula. Secebis ingatan melayang pada malam-malam menjelang kematian Akung, pada 8 cerita yang dikisahkan Akung padanya. Tanpa terasa airmatanya meleleh. Papanya mencintai wanita lain, Mamanya membalas dengan berselingkuh. Pamannya menuduh Papanya merebut pacarnya dan membalas dengan meniduri istri abangnya. Sampai mati kedunya tidak teguran. Siapa di antara ketiga orang ini yang paling kejam? Paling berdosa?
Setelah membersihkan kolong tempat tidur, tersisa sebuah lemari. Imei membuka lemari itu. Separo isinya pakaian Akung, separonya lagi berisi dokumen penting. Akung pernah menunjukkan dokumen-dokumen itu beberapa tahun yang lalu.
Sebuah kertas segel menyembul sedikit.
Surat Wasiat : Dengan ini saya, Yang Siau Kung, mewariskan seluruh harta saya baik bergerak maupun tidak bergerak pada Yang Yi Mei. Tertanda : Yang Siau Kung.
Imei terbengong. " Kenapa hanya aku? Kenapa yang lain tidak disinggung papa ?" Imei semakin tak mengerti jalan pikiran Akung. Satu catatan lagi menyembul : Soal hubunganmu dengan Yogi, kuserahkan keputusan pada Sobirin. Andai dia merestui, Aku mengucapkan selamat padamu Yang Yi Mei, anakku. Imei memegang surat itu dengan tangan gemetar. Lama dia terdiam tanpa bisa ngomong apa apa. Saat keluar dari kamar, mata Imei tertuju ke tangga. " Aku harus membersihkan kamar loteng juga," gumannya.
Sejak kematian Akung, tak ada yang berani naik ke loteng. Semua takut menyentuh barang-barang peninggalan Akung. Pintu kamar loteng terbuka lebar. Terakhir kali Imei naik ke loteng adalah saat mengambil lukisan. Ia lupa menguncinya.
Imei berjalan menuju meja. Bingkai lukisan itu masih seperti saat ditinggalkan. Belasan lembar kertas tertumpuk di atas kaca. Imei merapikan kertas-kertas itu.
" Tulisan ini pastilah penting dan rahasia, baru disembunyikan serapi ini. Sebaiklah kubawa ke kuburan Papa dan membakarnya. "
Setelah membersihkan loteng, Imei membersihkan debu debu yang melekat di tubuhnya di kamar mandi.
" Mei-ci, ada tamu, cepat !" teriak Ikling.
" Sebentar !" Imei berganti pakaian dan keluar dari kamar. Setelah Akung meninggal, petani-petani mencarinya ke rumah kalau ada keperluan. Di ruang tamu tampak seorang pemuda yang ternyata Siegit.
" Selamat sore…" sapa Siegit ramah.
" Angin apa yang membawamu ke mari ?" tanya Imei berusaha menampilkan wajah ceria.
" Oh, aku membawa bingkisan imlek buat Paman Sie. Sekalian menjengukmu…" kata Siegit malu-malu.
" Gara-gara aku, kamu sering turun ke desa." Imei sengaja mengoloknya, membuat pipi Siegit memerah." Ohya, aku janji mengenalkanmu pada Sun Ni. Kita pergi ?" ajak Imei memperhebat olokannya.
" Oh, tidak, maksudku jangan sekarang… maksudku… tujuanku bukan itu…" Siegit menjawab tergagap-gagap. Imei tertawa melihat kecanggungan Siegit.
" Kalau sikapmu masih seperti ini terus, kapan baru dapat jodoh ?" sindir Imei. Siegit menundukkan kepala.
" Bisakah kita ngobrol di luar ?" tanya Siegit setelah menenangkan diri sejenak dan kembali ke sikap kalemnya. Imei tidak menjawab, melainkan langsung berjalan keluar menuju bangku di bawah pohon durian.
" Cincin kamu…" tanya Siegit ketika melihat Imei tidak mengenakan cincin.
" Aku kan sedang berduka. Jadi, tidak boleh memakainya. Masa kamu lupa. Bukankah dulu kamu yang mengingatkan aku ketika papaku meninggal ?" sindir Imei.
" Bukan, maksudku bukan begitu. Cincin itu masih kamu simpan, bukan ?" tanya Siegit agak salah tingkah.
" Tentu saja. Itu pemberian Papa, tentu saja kusimpan dengan baik."
" Dengar, Mei. Aku serius. Cincin itu… apakah Papamu tidak menceritakan sesuatu ketika menyerahkan padamu ?" tanya Siegit. Imei merasa bingung melihat tingkah Siegit.
" Tidak, memangnya ada apa?" tanyanya. Ia pura-pura tak berminat mengetahui rahasia cincin itu. Padahal rasa ingin tahunya segudang.
" Cincin itu merupakan lambang ketua Persatuan Marga. Barangsiapa yang memegangnya, dialah ketuanya. " Kata Siegit. Imei tertawa,
" Haha, bukankah Persekutuan Marga sudah dibubarkan belasan tahun yang lalu. Kamu ngomong apa sih ?" kata Imei tak mengerti.
" Tidak, Persekutuan Marga tak pernah dibubarkan. Papamu adalah ketua Persekutuan Marga. Jika cincin itu ada padamu, berarti kamulah ketua Persekutuan Marga yang baru." Sikap Siegit berubah menghormat.
" Akh, ngaco ! Aku ? Mengurus penggilingan saja aku tak becus. Mana mungkin aku ketua Persekutuan Marga." Imei tertawa menyeringai.
" Baiklah. Kalau kamu tak percaya, kuharap Imlek hari keenam kamu tidak ke mana-mana. Aku akan membawamu untuk membuktikan kamu adalah ketua Persekutuan Marga yang baru ! Aku permisi." kata Siegit serius sambil berlalu.
Imei termangu-mangu melihat kepergian Siegit. Kini ia bertambah bingung. Benar-benar bingung. Benarkah Akung ketua Persekutuan Marga? Bukankah seharusnya Akung membenci Persekutuan karena menjadi penyebab tragedi cintanya?
Imei memasuki kamarnya dengan pikiran bingung. Tiba-tiba begitu banyak hal baru yang menimpanya. Ada yang dulu dihormatinya, tapi kini tak pantas dihormati. Ada yang dulunya dibenci, tapi kini malah mencetak kekaguman di hatinya. Dunianya benar-benar jungkir balik. Tatapannya jatuh di atas meja; pada kertas-kertas yang didapat dari bingkai lukisan di loteng.
Imei mengenali goresan tangan Akung. Setiap orang mempunyai kekhasan dalam menulis huruf Mandarin. Ia mengagumi tulisan Akung yang keras karakternya. Tulisan itu diterjemahkannya ke Bahasa Indonesia. Berhari-hari ia bertengkus-lumus dengan kertas-kertasnya, akhirnya ia mendapati kalau isi kertas-kertas itu ternyata semacam catatan pribadi.
Sejak kecil kami tidak mengenal perbedaan. Kami bertetangga dan bermain bersama. Tidak ada yang mengatakan kami Cina, Jawa, Melayu, dll. Kami menyapa dan saling membantu bila ada masalah. Kami senang bila purnama bersinar terang karena kami bisa bermain petak umpet tanpa perlu membawa pelita; berkejaran di pematang sawah, kejebur tambak basah kuyub dan saling meledek; menunggu durian jatuh dan bersaing menemukannya; memanjat pohon manggis dan berebutan memakannya. Semuanya serba menyenangkan. Setelah remaja kami mulai dikenalkan dengan masalah perbedaan. Dan semakin dewasa semakin banyak perbedaan.
Sejak kecil aku menyukai Kinarti. Sobirin tahu hal itu, juga Akiu. Mereka menyokongku. Aku dan Kinarti suka duduk di pematang sawah menatap rembulan di saat purnama. Bunyi jangkrik, bunyi kodok, dan kepak sayap kelelawar adalah teman setia kami. Namun ketika Amung juga menyukai Kinarti, aku memilih mengalah. Tak mungkin aku tidak mengalah karena dia adikku.
Amung akhirnya tahu kalau Kinarti hanya menyukaiku. Mungkin Kinar atau Sobi yang memberitahunya. Aku pura-pura bloon yang tak tahu apa-apa supaya Amung tidak kecewa. Syukurlah, di suatu malam saat perayaan Tuanwu –perayaan kueh bakcang, para orang tua membawa anak-anaknya ke kelenteng untuk berdoa. Hiruk-pikuk suasana kelenteng membuat Amung bertabrakan dengan seorang gadis bernama Lim Lan Nio. Mereka pun saling menyukai. Sejak itu Amung menyempil dari kelompok kami.
Catatan selanjutnya Imei sudah tahu, yaitu cerita tentang hubungan Akung dengan Kinarti yang mendapat pertentangan. Imei melangkaui bagian itu.
Sejak Kinar meninggal hatiku terbawa bersamanya. Aku hidup tak bergairah. Bulan delapan bersamaan dengan pesta kueh bulan, aku dan Lan Nio ditunangkan. Aku menjalaninya hanya sebagai kewajiban. Dua bulan kemudian kami dinikahkan dengan upacara sederhana. Saat menjalani upacara pernikahan aku berkata dalam hati, aku hanya mengawini Lan Nio secara simbolis. Aku akan menyerahkan Lan Nio pada Amung suatu saat nanti jika keadaan mengijinkan. Aku tahu ayahku pasti menghendaki keturunan secepatnya. Jika dalam beberapa tahun Lan Nio tidak memberikan seorang cucu, mereka pasti menduga ada yang tak beres, dan aku akan disuruh kawin lagi. Rencananya aku akan menceraikan Lan Nio agar ia bisa kembali pada Amung. Untuk itulah aku bertekad tidak menyentuh Lan Nio. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B