Di malam kedua Imei dikejutkan dengan kedatangan Siegit bersama Paman Sie. Setelah menyalakan dupa, Siegit masuk ke ruang jenazah –duduk bersama penduka, layaknya famili. Paman Sie bergabung di luar bersama pemain mahyong. Imei agak rikuh menghadapi Siegit. Apa Siegit ingin mendekatinya lagi ?
" Aku tak menyangka Paman Yang akan meninggal secepat ini. Maafkan karena aku tak sempat menjenguknya selama ia sakit." Siegit memperlihatkan wajah sedih.
" Tidak apa-apa…" jawab Imei lirih.
" Semoga kamu tabah menghadapi cobaan ini," kata Siegit penuh simpati. Imei menganggukan kepala. Siegit memandang tangan Imei yang sedang membakar kertas akherat. Lembar demi lembar kertas itu ditaruh ke sebuah kuali besar dan terbakar perlahan-lahan. Lama mereka terdiam. Ketika Imei menoleh, ia menyadari baru kalau tatapan Siegit tertuju pada cincin yang melingkar di jari tangannya. Meskipun cincin itu bukan terbuat dari emas, sebagai penduka ia tak boleh mengenakan perhiasan. Segera ia mencopot cincin itu dan meminta Ikling menyimpan ke dalam kamarnya.
" Simpanlah cincin itu dengan baik. Cincin itu sangat berharga." pesan Siegit. Imei agak kurang mengerti omongan Siegit. Cincin itu jelas-jelas bukan mas murni, kenapa dikatakan berharga?
" Apa maksudmu ?" tanyanya sangat ingin tahu.
" Sekarang tidak leluasa membicarakan hal itu. Kapan-kapan akan kujelaskan." kata Siegit sambil beringsut keluar dari ruang jenazah dan bergabung dengan pemain mahyong di halaman rumah. Ada apa lagi ini, pikir Imei. Cincin yang kupakai tadi sangat berharga? Bukan emas kenapa berharga?
Sampai hari ketiga Lukman tidak juga muncul. Imei menggantikan semua tugasnya sebagai putra tertua. Menjelang pemberangkatan jenazah ke kuburan, timbul masalah baru. Juru Adat bertegas bahwa hanya anak lelaki yang berhak membawa monumentalis dan tongkat pedoman jalan bagi jenazah, hal itu untuk menghindari arwah Akung kesasar ke mana-mana. Imei tak bisa menggantikan tugas itu karena harus lelaki. Semua bingung memikirkannya. Menunggu kedatangan Lukman jelas hal yang tak mungkin. Adik lelaki Akung satu-satunya hanyalah Amung, hanya anak Amung yang bisa menggantikan kedudukan Lukman. Tapi Amung tak punya anak, bahkan Amung sendiri tak bersedia mengantar jenazah Abangnya ke peristirahatan terakhir.
" Tak ada cara lain ?" tanya Imei pada Juru Adat dengan wajah bingung.
Juru Adat menatap Imei tajam, kemudian berkata,
" Ada sih ada, tapi jarang digunakan. Anak perempuan bisa menggunting rambutnya sehingga mirip laki-laki, juga harus memakai baju karung goni, dan merangkak layaknya anak lelaki. Ini semacam akal-akalan untuk mengelabui Penjaga Pintu Akherat." kata Juru Adat.
" Kalau cuma itu, biarlah saya melaksanakannya." Kata Imei tanpa ragu-ragu. Juru Adat tetap menatap Imei lekat-lekat. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B