"Tidak ada. Dia tidak mengatakan apa-apa…"
"Apakah dia lari… karena saya ?"
"Bukan. Dia bukan lari karena kamu. Dia lari karena dipukul Papa."
"Apa bedanya? Artinya sama saja dengan dia menolakku." kata Sun Ni dengan wajah kecewa.
"Dia hanya shock. Kalau hatinya sudah tenang, dia akan kembali. Kata orang, kalau jodoh takkan kemana, Kalau jodoh dunia hanya selebar daun kelor. " hibur Imei. Ketika mengucapkan kalimat terakhir, suara Imei sedikit bergetar. Ia sama sekali tak yakin Lukman akan kembali. Akung bukan orang yang pemaaf, dan kelihatannya Lukman bukan orang yang bersedia pulang untuk menerima kekalahan. Kembali berarti bersedia menerima apapun yang diperintahkan Akung.
Sun Ni agak terhibur mendengar kata-kata Imei. Ia mengucapkan terima kasih dan berlalu. Imei membalas dengan anggukan. Sekilas Ia teringat pertengkaran hebat itu. Imei menduga Lukman tahu banyak tentang rahasia kehidupan Papanya.
Imei membayangkan kueh pertunangan di gudang. Kaum Keturunan selalu menghubungkan suatu dengan pertanda dan firasat. Jika kueh pertunangan sudah lapuk dan dimakan semut, itu sama artinya pertalian Lukman dan Sun Ni takkan berhasil. Yang lengket sudah sirna, yang manis sudah hilang. Hanya sepah yang tersisa.
Sinar rembulan menyusup melalui celah-celah jendela. Bulan September cuacanya panas, sudah berbulan-bulan tak turun hujan. Daun-daun kering meranggas beterbangan ditiup angin. Imei membuka separo daun jendela agar angin masuk lebih leluasa. Payamanya yang sedikit kedodoran agak kusut; dua ekor itik yang sedang berenang tersulam indah di bagian dada. Imei terpaku di depan jendela. Purnama bersinar terang. Di bawah pohon durian yang tumbuh rindang di depan halaman terdapat sebuah bangku dan meja kecil. Di bangku itu tampak Akung duduk menerawang, di sampingnya sebuah botol menemaninya. Desiran angin membuat dedaunan berkesiuran.
"Mama bilang arak yang diminum Papa itu bukan arak kesehatan, juga bukan arak obat. Apa yang mendera pikiran Papa sehingga setiap malam meneguk minuman yang memabukkan itu ?" tanya Imei pada dirinya sendiri.
Imei menopangkan dagu di jendela. Wajah Akung kian hari kian tua di makan usia. Kerut-kerut di dahinya kian hari kian dalam setelah Lukman meninggalkan rumah. Anak lelaki merupakan harta paling berharga bagi Keturunan Tionghoa. Kini Lukman pergi tanpa berita. Apakah itu yang membuat hati Papanya sedih ?
Akhir-akhir ini Akung banyak mengajarkan hal-hal baru pada Imei. Akung menunjukkan di mana dukumen pentingnya disimpan, izin penggilingan, dan surat-surat berharga lainnya. Juga menjelaskan letak beberapa persil tanah dan sawah yang dimilikinya.
Jam dua belas Akung berjalan memasuki rumah. Imei cepat-cepat menutup jendela. Ia bermaksud ke kamar mandi. Ketika melewati kamar Akung, ia melihat pintu kamar Akung terbuka sebahagian, tetapi Akung tidak berada di kamarnya. Terdengar suara deheman di loteng. Rasa ingin tahu membuat keberaniannya timbul. Ia berjinjit mendekati tangga dan menaiki anak tangga tanpa mengeluarkan suara. Sekelilingnya gelap. Cahaya bulan yang menerobos lewat celah-celah dinding memberinya sedikit penerangan. Ia tiba di atas loteng dan melihat pintu kamar loteng terpentang lebar. Loteng itu berupa kerpus -bagian tengah bangunan, yang diplafon dengan papan sehingga berlantai. Didekati pintu dengan langkah sepelan mungkin. Ia tak berani mengintip melalui pintu, melainkan beringsut ke samping dan mengintip lewat celah dinding. Tampak Akung sedang berdiri membelakangi pintu menghadap ke dinding. Di dinding tergantung sebuah lukisan. Imei melihat dengan jelas lukisan yang dipandangi Akung adalah lukisan seorang wanita yang memakai baju kebaya dan bersanggul. Wanita dalam lukisan itu sangat cantik dan anggun. Apakah wanita ini yang bernama Kinarti ?
Setelah terpekur sangat lama, Akung menuangkan sesuatu ke cangkir kecil yang terletak di atas meja. Diangkatnya gelas itu dan menyodorkan ke arah lukisan seperti mengajak bersulang. Akung memandang lukisan itu dengan tatapan mesra. Agak lama kemudian Akung menutup pintu dan turun dari loteng. Imei berusaha merapatkan tubuhnya ke dinding agar tak kepergok. Untung Akung tak memeriksa lebih teliti. Setelah Akung turun agak lama, barulah Imei menyusul dan kembali ke kamarnya.
"Wanita dalam lukisan itu jelas-jelas bukan orang Tionghoa. Kenapa Papa seakan akan mengajaknya bersulang ? " Tanya Imei yang semakin berpikir semakin penasaran. " Siapa yang bisa memberiku penjelasan tentang lukisan itu ?" desah Imei gelisah. Kian hari keingintahuan terhadap masa lalu papanya kian mengambang.
………
Sejak tamat SMA, praktis orang-orang yang ditemui Imei hanyalah anggota keluarganya dan para penggiling padi. Setiap sore ia pulang berjalan kaki bersama Akung. Jarak rumah dan penggilingan tak terlalu jauh. Keduanya tampak kontras, yang satu besar seperti Angsa, yang lain mungil seperti itik. Kalau bertemu petani keduanya menyapa dengan ramah.
"Paman Amung sore tadi membawa 4 karung gabah ke gudang." Imei memberitahu Akung dalam perjalanan pulang. Sejak Imei menjaga penggilingan, Akung sering kelayapan memeriksa sawah dan ngobrol bersama petani.
Akung terdiam sejenak, kemudian berkata,
"Besok kamu tak usah ke penggilingan. Kamu ke toko Paman Sie. Minta satu stel pakaian seperti yang sering kubeli. Paman Sie pasti tahu. Kemudian singgah ke toko rokok dan beli satu pak rokok kretek. Antarkan barang-barang itu ke rumah Pamanmu !"
"Baik, Papa." jawab Imei. Itu artinya besok ia bisa jalan-jalan ke pasar desa dan pasti menyenangkan karena bisa bertemu dengan banyak orang.
"Kalau dia menolak, gantung saja di pohon rambutan dekat sawah!" tambah Akung. Imei agak tersentak mendengar ucapan Akung. Kini ia tahu kalau kantong-kantong yang bergantungan di pohon rambutan itu barang pemberian Akung. Kenapa Amung membiarkan begitu saja? Kenapa tidak dibuka? Benarkah mereka megatruh, bukan sekedar tidak bertegur sapa saja? (megatruh: pemutusan hubungan diikuti sumpah).
Di Kertosari ada sebuah pasar kecil tempat orang berjualan aneka barang. Pasar itu tak terlalu ramai. Hari pasarnya hanya Rabu dan Sabtu. Pembelinya orang-orang desa itu saja. Imei membawa sepeda ke pasar dan membeli pesanan Akung. Ia sengaja berlama-lama untuk menikmati sejenak kebebasannya. Ketika melihat penjual topi, seketika muncul inspirasi. Dengan uang tabungannya ia membeli sebuah topi. Dibungkusnya topi itu dengan plastik dan memasukkan secarik catatan: Pakailah topi ini agar aku mudah mengenalimu !
Sedang asik Imei berkeliling di pasar, ia mendengar panggilan, " Imei ! Imei !" dari sebuah kios.
Imei menoleh ke arah panggilan. Ia melihat Marni sedang berdiri di sebuah kios yang menjual aneka anyaman. Marni teman sekelasnya saat SMA. Ia segera berjalan ke tempat Marni.
"Eh, Marni. Sedang apa kamu di sini ?" sapanya bersemangat.
"Aku sedang membantu Ibuku menjaga kios. Ibuku menjual barang anyaman. Singgahlah, Mei, lihat-lihat barangku. Siapa tahu kamu berminat,"
"Bagus juga jualanmu, " puji Imei sambil berjalan memasuki kios. Seorang perempuan tua mengangguk ramah padanya.
"Teman sekolahmu, Mar ?" tanya ibu tua itu.
"Ya, Bu. Ini Imei, anak bos penggilingan."
"Oh, anak Pak Akung. Silahkan duduk…" Ibu Marni menyodorkan kursi.
"Nggak usah, Bu. Aku cuma melihat-lihat …" tampik Imei dengan sopan. " Mar, kamu tidak meneruskan kuliah ?"
"Mana ada biaya, Mei. Kuliah kan harus ke ibukota Propinsi. Kamu juga nggak kuliah, kan ?"
"Nggak, Mar. Papaku tak mengijinkan. Aku membantunya di penggilingan."
"Ih gila Papamu, masa anak perempuan disuruh kerja di penggilingan, sadis banget Papamu! Penggilingan kan penuh debu dan dedak yang bertebaran. Pesak itu kan bikin kulit gatal. Papamu sungguh tak berprikemanusiaan!" Marni mencela.
"Aku tak pegang mesin giling kok, Marni. Aku cuma menolong Papa memegang pembukuan dan keuangan. Tak kena pesak, tak kena dedak… "
Marni tersenyum mendengar pembelaan Imei. Ia salut pada ketabahan Imei.
"Gimana hubunganmu dengan Yogi?" tanya Marni dengan senyum menggoda. Imei tersenyum malu-malu.
"Yah, masih seperti dulu…"
Imei melihat-lihat barang jualan Marni. Ada kukusan, topi anyaman, gedek, tikar, dan macam-macam lagi.
"Masih sering digebuki Papamu ?" tanya Marni lagi. Imei tidak menjawab, hanya menggeleng sedikit. Tangannya bergerak memegangi rambutnya. Rambutnya mulai mendekati pertengahan leher. Marni tahu Imei malu mendapat perlakuan kasar dari Papanya, ia tak bertanya lagi.
Setelah puas melihat-lihat, Imei permisi. Enak rasanya berjumpa teman sekelas yang sudah berbulan-bulan tidak ditemuinya. Kekangenannya terobati.
Ketika menuju rumah Amung, ia menyelipkan sebuah bungkusan ke bawah jembatan kolam itik, tempat di mana ia dan Yogi biasanya bertukar panganan.
"Paman Amung !" teriaknya keras setibanya di gubuk.
"Aku di sawah !" terdengar balasan. Imei menyandarkan sepeda ke dinding gubuk dan menenteng bungkusan menuju sawah. Tubuh Amung berlepotan lumpur.
"Aku membawa oleh-oleh…" kata Imei ceria.
"Oleh-oleh apa ?" tanya Amung heran.
"Oleh-oleh dari Papa," Imei menunjukkan ke bungkusan yang dibawanya.
"Oh !" Amung terdiam seketika. Imei menunggu reaksi, tapi Amung tampaknya tak ingin berkomentar.
"Oh, aku tahu. Biasanya Papa menggantungnya di sini, kan ?" kata Imei sambil berjalan ke pohon rambutan dan menggantung bungkusan itu di salah satu dahan. Amung menahan senyum melihat tingkah Imei.
"Kenapa Paman mau menerima pemberian Mama, tapi ogah menerima oleh-oleh dari Papa ?" tanya Imei.
"Aku menyetorkan 4 karung gabah itu sebagai sewa tanah. Dia tak perlu memberiku apa-apa !" kata Amung dengan perasaan tak senang. Imei menghitung-hitung bungkusan di semua pohon. Mungkin ada sekitar 30-an kantongan. Apakah isi semua kantong itu sama?
"Kelihatannya bos penggilingan akan berpindah tangan," kata Amung membuyarkan lamunan Imei.
"Apa maksud Paman ?"
"Kudengar sekarang kamu yang mengurus penggilingan. Papamu hanya jadi mandor saja."
"Akh, Paman. Kalaupun Papa pengen cepat pensiun, pasti penggilingan itu diserahkan pada Paman Asun. Aku anak perempuan, bisa apa? Lagipula aku bukan tipe orang yang dipercayai Papa. Papa menyuruhku ke penggilingan pasti supaya aku tak sembarangan keluyuran atau mengejar-ngejar itik jantan." Imei ngerocos seenaknya, dan tertawa terbahak-bahak. Amung ikut tertawa.
"Tak mungkin penggilingan diserahkan pada Asun. Kalau Lukman tak kembali, pasti penggilingan itu diwariskan padamu. Asun selamanya cuma kacung. Nasib baik saja dia kawin dengan adikku sehingga Akung masih mau memakainya. Cuma… ini sebuah dilema karena kamu anak perempuan. Sebelum menyerahkan padamu, pasti Akung menjegalmu dengan banyak perjanjian."
"Kok Paman ngomong begitu ?"
"Aku kenal siapa Akung!" kata Amung sedikit jumawa.
"Berarti Paman juga kenal Kinarti ?" sambar Imei. Amung langsung terdiam. " Kenapa semuanya diam kalau kutanyakan tentang Kinarti ?" tambah Imei.
"Kamu bisa dibunuh Akung kalau coba-coba mengorek rahasia Kinarti ! Jangan coba-coba, Mei !" Amung mewanti wanti. Imei kaget mendengarnya.
"Kenapa bisa begitu ?"
"Itu borok Papamu yang paling busuk !"
"Paman toch bisa cerita. Aku janji tutup mulut," kata Imei penuh semangat.
"Aku malas cerita. Cuma mengorek-ngorek luka lama. Sebaiknya kamu jangan bertanya lagi. Kalau cerita itu dibongkar, hanya akan menyakitkan banyak pihak. Lebih baik kita memendamnya saja."
"Kinarti sudah meninggal, bukan ?"
"Ya. Kinarti sudah meninggal, dan ceritanya harus ikut terkubur bersamanya !"
"Sepertinya tidak. Setiap tanggal 15 Papa naik ke loteng, memandangi lukisannya sambil mengajaknya bersulang. Apakah paman tahu? " semangat Imei tidak patah, ia tetap memberi umpan supaya Amung bercerita.
"Apa ?!!!" Amung terlonjak kaget. "Darimana kamu tahu? Di mana kamu melihat hal itu ?" Amung mencengkram bahu Imei sehingga Imei meringis kesakitan.
"Di kamar loteng…" jawab Imei ketakutan. Wajah Amung mengeras dan menunjukkan kegeraman yang luar biasa. Ia melepaskan cengkraman dan turun ke sawah.
"Bangsat ! dia benar-benar bangsat !!!! Kenapa dia harus melakukan semua ini ! untuk apa !!!" teriak Amung kalap. Amung menghantamkan cangkulnya serampangan ke lumpur. Lumpur menyiprak ke mana-mana. Melihat sinar mata Amung yang garang, Imei ketakutan setengah mati dan segera berlari pulang. Sangking takutnya ia mulai yakin Pamannya itu pernah mengidap penyakit jiwa alias Gila! [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B